Artikel

Alhamdulillah Saya ber NU

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Alhamdulillah wa syukurillah wa shalatu wasallamu ‘alaa Rasulillah, sayyidina wa maulana Muhammad ibni Abdillah, wa ‘alaa aalihi wa shahbihi wa man walah, amma ba’d.

Sahabat-sahabat nahdliyyin yang sangat saya hormati, sebelum kita berdiskusi banyak hal dan berbusa-busa menyusun cita-cita dan agenda kegiatan kita, paling pertama saya ingin mengajak sahabat-sahabat untuk menghangatkan kembali rasa syukur kita kepada Allah SWT yang telah menempatkan kita di tengah -tengah organisasi yang sangat besar dan diliputi doa-doa para kyai, yakni Nahdlatul Ulama.

Sebab saya menyimpan kekhawatiran, jangan-jangan dengan segala lambang NU yang terpampang di atribut-atribut kita, sejatinya NU tidak meresap jauh sampai ke tulang-tulang kita, tapi hanya menjadi kebanggaan semu di permukaan saja. Saya curiga kita tidak pernah benar-benar mampu menghadirkan rasa syukur yang dalam karena kita telah diberikan anugerah yang bernama Nahdlatul Ulama. Sebab, sesuatu yang terlalu mudah didapat biasanya akan lupa disyukuri. Dalam kehidupan romantis, seorang laki-laki yang terlalu mudah mendapatkan wanita incarannya, cenderung abai dan kurang perhatian di kemudian hari. Sebaliknya, proses yang sulit dan pelik ketika mendapatkan sang pujaan hati, akan menjadi pengingat dan bertahan pada situasi-situasi sulit. Dapatnya saja sulit, pasti di bela mati-matian.

Dalam kehidupan nyata banyak hal yang sangat mudah kita dapatkan, bahkan seolah-olah tanpa di ikhtiari pun otomatis sudah jadi milik kita. Contohnya adalah oksigen. Dengan mudah dan gratis kita bisa menyedot udara sebanyak yang kita mau. Saking mudahnya, kita tidak pernah memperbarui rasa syukur kita, Alhamdulillah ya Allah, kau berikan kepadaku udara yang keren di pagi hari ini . Padahal menikmati udara atau oksigen jauh lebih primer dari banyak hal yang berkali-kali kami terima kasih, seperti rumah dan mobil. Begitupun dengan udara. Di daerah kita airnya melimpah sehingga tidak pernah kita bersyukur. Berbeda dengan daerah yang mengalami krisis udara. Tentu masyarakat dengan kondisi seperti itu akan lebih bersyukur terhadap kenikmatan udara. Ini adalah situasi batiniyah yang salah. Padahal situasi batiniyah ini akan sangat mempengaruhi kerja-kerja kerja lahiriyah kita.

NU bagi kebanyakan dari kita adalah sesuatu yang sangat mudah didapat. Tidak heran kalau banyak dari kita yang mengatakan bahwa kita sudah NU sejak lahir. Mbah saya NU, bapak-ibu saya NU, keluarga saya NU . Saking mudahnya memahaminya, kami tidak pernah benar-benar menginternalisasi rasa terima kasih kami sebagai bagian dari NU. Untuk itu dalam menit-menit awal ini saya ingin mengajak sahabat-sahabat semuanya untuk kembali mensyukuri bahwa kita telah menjadi bagian dari Nahdlatul Ulama. Penerimaan dan rasa syukur ini yang kita ingat akan menimbulkan ghirroh dan kesadaran yang kuat dalam perjuangan-perjuangan di masa yang akan datang.

Yang kedua, ada dua mahkota yang disandang seseorang dalam kehidupan ini. Mahklota pertama adalah nasab , atau jalur keluarga. Si Fulan bin Kyai A bin pejuang A dan seterusnya. Padahal, belum tentu mbahnya pejuang, cucunya juga akan jadi pejuang. Tapi kita semua tahu nasab ini menjadi salah satu mahkota yang dibanggakan di tengah-tengah kehidupan kita. Bahkan tidak kita pungkiri nasab ini menjadi pertimbangan yang serius dalam penataan struktur sosial di masyarakat kita. Catatannya, kita tidak bisa memilih dilahirkan dari rahim siapa. Mahkota yang kedua adalah sanad , atau jalur keilmuan. Yang ini kita bisa mengusahakannya. Kita bisa memilih ngaji dengan kyai NU atau dengan kyai google. Tidak semua orang punya kesempatan untuk ngaji jauh-jauh di Jawa Timur, sebagian juga memang malas saja untuk ngaji di Tebu Ireng. Kita tidak dilahirkan di zaman yang sama dengan hadratus syaikh, tapi haratus syaikh ngendiko siapa yang berjuang untuk NU aku anggap sebagai santriku, siapa yang jadi santriku aku doakan khusnul khotimah . Jalur kilat NU ini sungguh luar biasa berkahnya. Melalui NU kita bisa tersambung keilmuannya dengan hadratussyaikh.

Yang ketiga, ber NU juga berarti mempersempit kemungkinan bagi kita untuk melakukan hal-hal yang tidak berfaedah. Kalau kita tidak disibukkan dengan NU bisa jadi kita akan sibuk dengan hal-hal yang kurang bermanfaat. Otak manusia bukan ruang hampa, ia akan terus mencari permasalahan-permasalahan. Ketika tidak diisi dengan masalah yang penting dan bermartabat, ia cenderung mencari-cari masalah yang kurang penting dan tidak bermartabat. Sebuah mobil, dipakai atau tidak dipakai pasti akan rusak. Yang digunakan juga akan rusak karena mobil digunakan untuk bekerja keras, yang hanya didiamkan juga alam-lama akan karatan. Pertanyaanya, lebih terhormat yang mana rusak karena digunakan untuk bekerja keras atau rusak karena dirinya sendiri ndongkrok karatan di pojokan. Manusia yang tidak mau bergaul dan keluar dari rumah akan dipenuhi dengan masalah-masalah domestik di dalam rumah. Bermasalah dengan orang tuanya, anaknya, keluarganya. Ya, karena masalah memang sudah menjadi bagian dari kehidupan kita. Dalam pergaulan yang luas, masalah kita akan berubah dan meningkat, begitu juga dengan pengalaman kita dalam menyelesaikannya. Akhirnya kita terlatih dan seharusnya kita dapat dengan mudah meminimalisir masalah-masalah yang ada disekitar kita. Masalah-masalah domestik di dalam rumah akan menjadi kecil karena ada masalah-masalah yang lebih besar seputar keumatan dan kebangsaan. Ber NU membuat kita terus berproses dan berdialektika dengan banyak hal, outputnya kita makin canggih dan makin tangguh dalam menjalani kehidupan.

Yang keempat, ber NU juga mendorong kita untuk berada di dalam circle yang baik dan penuh berkah. Lewat NU lah kita jadi dekat dengan para ulama. Tidak peduli apapun latar belakang kita, kultur NU mendorong orang yang terlibat dalam nafas pergerakannya untuk dekat dengan para ulama. Bahkan, seorang pedagang balon yang datang ke acara dangdutan dan acara muslimatan sudah tentu akan mendapatkan asupan gizi yang berbeda. Setidaknya dari kejauhan kita dapat mendengarkan lantunan sholawat dan nasihat dari para kyai. Apalagi bagi mereka yang mau berkecimpung berjuang dalam kegiatan-kegiatan NU, sebagai panitia, pemasang bendera, petugas keamanan, penjaga sendal kyai, tukang sound, seksi konsumsi dan lain sebagainya. Berkahnya luar biasa. Sesuatu yang tidak bisa diukur, namun bisa kita rasakan. Secara matematis berjuang di NU kadang malah mengeluarkan banyak biaya. Kalau pegangan kita adalah kalkulator materialisme, mungkin saja akan terjadi minus besar-besaran. Kenyataannya? setiap mengkuti acara NU rasanya hati adem, pikiran tenang, tambah saudara, tambah jaringan dan berbagai bonus plus-plus yang lain yang tidak bisa kita hitung secara matematis tapi bisa kita rasakan manfaatnya. Ini yang dinamakan berkahnya Nahdlatul Ulama.

Oiya… ternyata kitalah yang selama ini membutuhkan NU, bukan NU yang membutuhkan kita. Dengan penerimaan dan rasa terima kasih besar terhadap organisasi ini, kami akan hadir di dalam organisasi dengan kesadaran penuh. Kesadaran penuh ini akan mendorong kita untuk berjuang dengan penuh kebanggaan. Aamiin.

Wallohul muwaffiq ilaa aqwamith thoriq.
Wassalamualaikum Warohmatullohi Wabarokatuh.

Tulisan ini terbit setelah ngopi panjang membelah malam bersama sahabat Himawan Rifa’i.

Tags:
Bincang Sekitar Hukum Haid Bersama MDS Rijalul Ansor Pituruh
Sholawat Bersama Gandrung Nabi, MWCNU Kecamatan Purworejo Tutup Rangkaian Hari Santri

Cabang

Ancab

Kabar NU

Mungkin Kamu Suka