ArtikelBanser

Pria Sangar Bertato itu Bukan Preman

Pria tinggi berbadan kekar itu menuju kami. Dengan wajah yang sangar, namun masih memiliki sedikit keramahan. Ia menyalami. Di pergelangan tangannya yang berotot, tampak jelas tato besar yang sulit dihapus.

***

Di zaman kecil dulu, jika melihat pemandangan seperti ini, saya tidak butuh narasi banyak untuk langsung menjustifikasinya sebagai orang yang tak terhormat: preman.

Tapi zaman berubah. Kini—meski saya sendiri tak suka dan ogah mencoba—tato tak identik dengan kenakalan, apalagi preman. Bahkan menteri kelautan dan perikanan, Susi Pudjiastuti pun bertato. Juga, banyak saya melihat anak-anak lebay dan ganjen bertato. Orang “normal” sampai PSK banyak yang bertato. Ini artinya tato tak identik dengan preman.

Meski begitu, banyak—atau kebanyakan—orang masih melihat tato sebagai sebuah simbol negatif, nakal dan sejenisnya.

Dalam Islam sendiri, setahu saya, kebanyakan fatwa ulama mengharamkannya, dengan dalih menghambat air wudlu. Jika air wudlu tidak mengalir ke kulit, maka wudlu tidak sah, secara fiqih. Jika wudlu tidak sah, maka shalatnya tidak sah. Ini otomatis juga berlaku bagi orang yang junub, mandi besarnya tidak sah.

Pertanyaanya kemudian, kalau sudah terlanjur bagaimana? Ada dua pendapat: pertama, menghapusnya. Banyak saya menjumpai orang yang menghapus tatonya. Konon, menghapus tato teramat sakit, karena menggunakan setrika. Entah sekarang ada alatnya atau tidak. Kedua, jika memang teramat sakit, tak perlu menghapusnya. Ini karena prinsip bahwa agama itu membuat mudah, bukan malah menyulitkan.

Juga, pendapat ulama-ulama tasawuf yang lebih melihat hati, di mana hati lebih penting untuk disucikan, dibersihkan. Banyak orang yang meski tubuhnya mulus, namun hatinya penuh tato kebencian, hasut, dengki, dendam, dan lain-lain.


Usai menyalami, ia yang bercelana hitam dan berkaos doreng, minta perintah.

“Apa yang bisa kita kerjakan malam ini?” ungkapnya, kepada kami pengurus GP Ansor Purworejo.

“Kita akan menyiapkan tempat untuk acara Pelatihan Kepemimpinan Lanjutan (PKL) dan Susbalan Banser besok. Ada juga tumpukan batu di halaman depan yang perlu dibereskan.”

“Siap laksanakan…!!!” Balasnya.

Kemudian, beserta beberapa anggota Banser lain, ia—dengan badannya yang kekar berotot—memindah batu-batu itu. Ketika hujan turun mengguyur, ia tetap semangat, sampai selesai pukul 00.00 WIB.

Itulah Banser, salah satu sayap kekuatan Ansor NU, yang menerima dan merangkul siapa saja, jika memang ingin menuju cahaya. Betapa pun kotor masa lalu seseorang, masa depannya masih suci. NU tidak memukul, tapi merangkul. Karena, hanya Iblis yang menentang manusia untuk kembali kepada Tuhannya.

Tulisan ini pernah dimuat di NU Online pada Rabu, 04 Januari 2017.

Pentingnya Sekolah Sejarah Pada Jenjang Pengkaderan Kita
Mengenang Usmar Ismail, Sineas NU Pembuat Film Nasional Pertama

Cabang

Ancab

Kabar NU

Mungkin Kamu Suka