Islam tidak sekedar agama hukum (din as-syari’ah), namun juga agama peradaban dan pengetahuan. Sebagai agama peradaban, tradisi Islam dalam sejarah panjangnya, selama sekitar 14 abad, menjadi bagian penting dalam peradaban dunia. Jejak peradaban ini masih monumental, dari kawasan Timur Tengah, Andalusia, Ottoman, Asia, hingga Nusantara. Sebagai agama pengetahuan, Islam juga menghasilkan produk intelektual pada tiap zamannya. Tradisi intelektual ulama Andalusia, menjadi penanda penting berkembangnya sains dalam khazanah Islam.
Lalu, bagaimana peradaban dan pengetahuan Islam masa kini? Ali A. Allawi gelisah melihat perkembangan Islam dewasa ini, pada era teknologi dan masyarakat modern, yang hanya menampilkan sengketa, perang dan pertaruhan politik. Kajian-kajian tentang Islam, lebih banyak disesaki oleh wacana Islam politik, sesuatu yang kemudian meminggirkan khazanah pengetahuan dalam agama ini.
Dalam buku ini, Allawi terfokus untuk berusaha menemukan akar-akar yang lebih mendalam dari krisis Dunia Islam. Allawi juga menggali jawaban tentang ketidaksesuaian Islam dengan dunia modern, apakah intrinsik pada agama atau karena faktor-faktor yang lain, termasuk di dalamnya merosotnya kekuatan-kekuatan hakiki dan jati dirinya.
Allawi berusaha menjawab tiga persoalan mendasar; pertama. Masih bisakah kita berbicara tentang satu peradaban Islam, ataukah Islam terpecah dalam satu kesatuan etnis, budaya, dan nasional dengan ikatan longgar satu sama lain? Kedua, apakah peradaban Islam bisa berulang kembali, ataukah telah hilang ditelan zaman? Ketiga, apakah syarat-syarat yang memungkinkan peradaban Islam lahir kembali di dunia? Dalam rangkaian utuhnya, Allawi berusaha memberikan argumentasi, apakah sebuah masyarakat modern dengan segenap kompleksitasnya dengan ketegangan dan sengketa, dapat dibangun berdasar visi ketuhanan? (hal. 18-19).
Secara jernih, setelah melacak akar peradaban dan pengetahuan Islam, Allawi memuji lahirnya tokoh-tokoh Muslim yang menjembatani pengetahuan agama dan sains. Ali A. Allawi mengungkapkan tentang pentingnya pencerahan pengetahuan, seperti pada sosok Sayyed Hosein Nasr. Kisah hidup Sayyed Hosein Nasr menjadi contoh penting yang disajikan Allawi sebagai gambaran pencerahan pengetahuan, dalam tradisi intelektual Islam modern. Nasr terlahir di Iran pada 1933, dalam tradisi intelektual dan keluarga dokter terkemuka. Nasr mempelajari fisika di MIT, hingga kemudian menyelesaikan Ph.D dari Harvard pada 1958, dengan karya riset bidang sejarah Islam.
Nasr kembali ke Iran, menjadi seorang cendekiawan terkemuka dan tokoh pendidikan yang penting di negeri itu. Pascarevolusi Iran, 1978-1979, Nasr meninggalkan Iran dan tergabung dengan George Washington University. Ia terinspirasi oleh kelompok ‘tradisionalis’, sekelompok cendekiawan Eropa yang umumnya telah masuk Islam. Kelompok ini menggali inspirasi dari pemikir Perancis, Rene Guenon. Selain itu, ahli metafisika Fritjhof Schuon, Titus Burckhardt (sejarawan seni), Martin Lings (cendekiawan dan kurator museum) juga termasuk dalam kelompok ini.
Dalam pandangan kaum tradisionalis, kelanjutan berbagai tradisi keagamaan yang autentik merupakan satu-satunya cara bagi manusia untuk menghubungkan diri dengan agama primordian. Kelompok ini, mendukung gagasan filsafat perenial, yang berusaha menemukan kesatuan keilahian dari seluruh agama pada dimensi terdalam yang esoterik (hal. 371).
Perlawanan Sufistik
Dalam khazanah Islam, kelompok tarekat dan jaringan ulama sufi, memiliki peran signifikan untuk menggerakkan pendukungnya, yang pada akhirnya mempengaruhi wajah zaman. Kelompok sufistik ini, seringkali dipandang sebelah mata dalam kajian intelektual peneliti dari berbagai universitas. Hali ini, lebih karena kurangnya pemahaman dan sempitnya wawasan dalam memahami fenomena jaringan tarekat. Padahal, gerakan sufistik berpengaruh pada ruang geografis dan historis.
Gerakan-gerakan revivalis (kebangkitan) Islam mendahului kedatangan orang-orang Eropa. Pada abad 18, terjadi peningkatan signifikan jumlah gerakan reformasi dan kebangkitan yang memperjuangkan pemurnian kehidupan dan masyarakat Islam. Fenomena ini, sejalan dengan surutnya jaringan kekuasaan tiga kerajaan besar Islam pada masa itu.
“Para pemimpin berbagai gerakan ini umumnya berasal dari barisan ulama dan para sufi. Para ulama tercengang oleh longgarnya standar agama dan toleransi terhadap praktik-praktik yang perlu dipertanyakan, bahkan menyerupai kemusyrikan, yang semakin menjangkiti Islam populer,” tulis Alawi (hal. 76).
Di kerajaan multietnis di Mughal, yang mayoritas populasinya pemeluk Hindu. Pada masa Raja Aurangzeb, raja terakhir di Mughal, ia berusaha menuntaskan kebijakan akomodasi religius dan mengusahakan pemberlakuan identitas Islam. Sebelumnya, kebijakan kerajaan sangat akomodatif terhadap sinkretisme, bahkan pada beberapa kisah sangat dianjurkan oleh kerajaan. Usaha Aurangzeb menemukan titik akhir, dengan berakhir pula masa kekuasaannya di Mughal. Para ulama bangkit untuk mengokohkan misi Aurangzeb, menguatkan identitas Islam di negeri yang longgar terhadap identitas keagamannya. Syah Waliyullah Dahlawi (1703-1762), yang terlahir di Uttar Pradesh, India belajar tekun di Makkah dan Madinah selama 12 tahun.
Para ulama di berbagai kawasan melakukan gerakan revivalis, untuk membangkitkan kembali gairah keislaman. Pada abad 18 dan 19, juga muncul gerakan Sufi Naqsyabandiyah, yang mengusahakan pemurnian sufi dari praktik-praktik serta penambahan-penambahan yang tidak diterima oleh para ulama ortodoks.
Perlawanan anti-Belanda di Aceh pada abad 19, juga melibatkan jaringan tarekat Naqsyabandiyah, yang juga terjadi di kawasan Kaukasus. Pemberontakan melawan Rusia oleh Imam Mansur pada 1785-1791, dan kemudian diteruskan Imam Syamil, menggunakan jaringan tarekat Naqsyabandiyah. Kemudian, tarekat Sanusiyah yang didirikan oleh Muhammad Ali al-Sanusi (1787-1895), menjadi referensi penting bagaimana gerakan tarekat menjadi motor penggerak perlawanan terhadap rezim kolonial. Al-Sanusi membangun beberapa pondok sufi (zawiyah) di kawasan Gurun Libia, sebagai benteng pertahanan sekaligus pusat perlawanan terhadap serbuan Prancis dan Italia ke Sahara (hal. 78).
Dalam buku ini, Allawi mengkaji tentang bagaimana Islam bangkit di tengah krisis peradaban. Allawi melihat, bahwa agama memiliki karakteristik masing-masing. Menurut Allawi, agama dalam beragam cara, menilai individu dan kolektifitas. Agama Buddha merupakan jalan soliter menuju pencerahan dan kesempurnaan. Agama Yahudi memperlihatkan kolektivitas, baik ruhaniah maupun duniawiyah. Refomasi Protestan mengenai kemungkinan individu, melalui kesalehan dan ibadah individual, untuk mencapai keselamatan (hal. 25).
Dalam buku ini, Allawi menggarisbawahi pentingnya kebangkitan Islam sebagai agama pengetahuan dan peradaban, bukan sekedar sebagai agama politik dan hukum.
Info Buku
Penulis : Ali A. Alawi
Judul Buku : Krisis Peradaban Islam: Antara Kebangkitan dan Kebutuhan Total
Penerbit : Mizan, November 2015
ISBN : 978-979-433-899-5
Peresensi
Munawir Aziz
Pergiat di GusDurian dan Gerakan Islam Cinta