Artikel

Riyadloh Badaniyah Melalui Banser

Sore tadi diajak diskusi bersama Ansor Kota dan diminta untuk me-refleksikan sedikit sejarah Ansor. Mengutip terminologinya Gus Gendoel Phothol , tak ubahnya pijat refleksi, halaqoh ini juga bentuk ikhtiar memijat kepala, hati dan semua anggota tubuh, yang mungkin capek, lelah dan sudah kaku semua, agar kembali fresh dan prima untuk kembali bergerak dalam perjuangan.

Menemani ndan Muhajir Namung Astri saya diminta berbicara sedikit soal sejarah Ansor. Menurut saya, mengetahui sejarah Ansor sangat penting untuk bisa mengambil posisi dan menentukan sikap pergerakan pada masa ini dan yang akan datang. Misalnya saja ketika kita membahas dua semi otonom Ansor, MDSRA dan BANSER. Yang pertama, MDSRA atau lebih dikenal sebagai Rijaalul Ansor. Seperti saya tulis sebelumnya, RA bukanlah nafas baru dalam Ansor. Menganggap RA hal yang baru bisa menyebabkan gerakan RA landai-landai saja. Padahal RA adalah bagian mandat sejarah dalam bidang keagamaan dalam tubuh GP Ansor. Ia cita-cita lama dan tidak terpisahkan dari sejarah Ansor itu sendiri. Sebagaimana GP Ansor yang mewarisi genetika Syubbanul Wathon dan Nahdlatul Wathon (1916), MDSRA juga tak lepas dari cita-cita Da’watus Syubban dan Tashwirul Afkar (1918).

Yang kedua, Barisan Ansor Serbaguna yang kita kenal sebagai Banser. Mungkin tidak banyak yang tahu jika gerakan baris berbaris dan kepanduan Banser ini dulu dikenal sebagai ‘Riyadhoh Badaniyah’. Banser adalah metamorofsa dari BANOE dan Ahlul Wathon. Pendirian BANOE bukanlah hal yang mudah karena juga mendapat pertentangan dari dalam NU sendiri. Penggunaan alat musik Drumband misalnya, sempat mendapat respon yang keras dari ulama-ulama NU. Padahal maksud GP Ansor adalah untuk syiar agama. Sama halnya ketika Ansor berpenampilan dengan memakai celana, sebagian ulama memberikan tanggapan yang keras karena dianggap menyerupai kaum penjajah. Padahal maksud Ansor adalah untuk menunjukan bahwa kaum pribumi setara dengan Belanda. Dalam penolakan-penolakan itulah Mbah Hasyim berfatwa, bahwa Riyadloh Badaniyah diperbolehkan selama mendatangkan manfaat. ‘An takuna ar riyadlotu syar’an mubahatan mufidatan ghoiro mudhorotin.’

Jadi, sejatinya bergabung dengan Banser, mengikuti diklatsar adalah pintu riyadloh. Catatanya: selama mendatangkan manfaat. Dengan memahami sejarah ini, kita jadi tahu bahwa ruh perjuangan Banser adalah ruh perjuangan yang luhur. Baris berbaris itu bukanlah sebatas bergaya, tapi bagian dari riyadloh, latihan, dan upaya yang keras untuk menopang gerakan Ansor dan Nahdlatul Ulama. Maka, menggunakan Banser untuk hal-hal yang jauh daripada itu, bukan saja berarti memunggungi organisasi, tapi juga perlawanan terhadap mandat sejarah NU sekaligus perlawanan terhadap perlindungan yang telah diberikan oleh Mbah Hasyim Asyary saat pendirian BANOE.

Kadang kita malas menarik diri kebelakang untuk memahami sejarah. Lahir di Ansor dan NU yang terlanjur besar memang sebuah kenikmatan. Di sisi lain juga bisa menjadi malapetaka, sebab kebesaran itu yang akhirnya menina bobokkan kita dari mandat dan cita-cita yang mesti terus di perjuangkan. Momen harlah selalu sebatas hal-hal formil belaka. Tidak ada refleksi yang serius untuk lebih memahami organisasi yang kita cintai ini. Kita tak peduli lagi dengan ‘siapa’ pendiri-pendiri organisasi ini dan ‘bagaimana’ organisasi ini dilahirkan. Lalu sebenarnya kepada siapa kita mencontoh dan mengkiblatkan diri? Atau malah memang sebenarnya kita tidak mau peduli dan memilih untuk terus berlindung di bawah ketiak NU, demi kepentingan diri sendiri.

Selamat Harlah GP Ansor ke 88, Khidmat tanpa batas!

Sinergi Dengan Ansor, DRW Raih Rekor MURI
Embrio Rijaalul Ansor

Cabang

Ancab

Kabar NU

Mungkin Kamu Suka