ArtikelResensi

Nu Vis-a-Vis Negara, Siasat NU dalam Menjaga Negara

Membahas masalah politik, sama halnya membahas masalah Negara. Sebab, salah satu yang menyebabkan Negara itu maju adalah partai politik. Namun, terkadang partai politik juga dapat merugikan Negara, karena ketidak sesuaian tindakan-tindakan yang dilakukan oleh partai politik itu sendiri.

Pada saat Orde Baru itu lahir, NU memainkan peran kunci dalam peralihan kekuasaan secara bertahap setelah dalam waktu beberapa hari saja Jenderal Sueharto berhasil menumpas “Gerakan 30 September”. Di samping keikutsertaan para aktivis radikalnya dalam demonstrasi-demunstrasi mashasiswa di tahun 1966, NU juga memainkan peran yang sangat penting dalam pengambilalihan kekuasaan secara konstitusional oleh jenderal Sueharto.

Bagi jenderal yang menekankan keabsahan peralihan kekuasaan, NU merupakan satu-satunya pasangan yang dapat dijadikan tumpuan harapan: Partai Nasional terlalu dekat hubungannya dengan Suekarno, Masyumi sudah dilarang Tahun 1960 dan sangat dicurigai, sementara partai-partai lainnya terlalu kecil untuk berperan. Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat, yang mengalami perombakan tidak lama setelah peralihan kekuasaan kepada Sueharto tanggal 11 Maret 1966, sebagian diserahkan ketangan NU.

Sejalan dengan itu, maka terjalin satu kerja sama antara ABRI dan gerakan tradisionalis, persekutuan yang diibaratkan oleh Sjaichu, Wakil Ketua II Nahdhatul Ulama, sebagai hubungan antara “saudara sekandung”. Satu solidaritas timbal-balik lahir dari hubungan tersebut. Pernyataan-pernyataan yang muncul pun sangat hiperbolis: Angkatan bersenjata “mempercayakan” tentaranya pada NU begitupun sebaliknya. (hal. 87).

Namun, ada beberapa peristiwa yang membuat NU terkucilkan. Sejak Tahun 1965, NU tidak menduduki peran penting dalam pemerintahan, perannya sangat ditentukan. Sebab, mempermudah reshuffle yang dilakukan dengan berturut-turut. Apalagi, Wakil Rakyat berhaluan terhadap komunis demi keuntungan kelompok politik yang dekat dengan Orde Baru.

Sehingga kemudian, NU mulai lesu terhadap politik yang berkepanjangan. Sehingga, NU mempunyai rencana untuk kembali ke khittah. Namun, Pada tahun 80-an, NU memilih keluar dari Partai Persatuan Pembangunan, karena untuk sebagian kecewa terhadap adanya kelompok modernis yang ada di PPP. Sejalan dengan itu, NU tidak masuk di perpolitikan lagi, hanya saja ia menitip namanya di Partai Kebangkitan Bangsa. Partai ini, di fasilitasi oleh PBNU.

NU semakin terpecah belah pada saat terjadi pluralisme sikap politik di kalangan NU sendiri, karena ada beberapa partai yang menaungi NU. dalam muktamar 1994, H. Abdurrahman Wahid mendirikan Partai Solidaritas Uni Nasional Indonesia (SUNI). Sedangkan pamannya Gus Dur, mendirikan Partai Kebangkitan Umat (PKU). Dan, salah satu ulama besar pada dekade Orde Baru yang dekat dengan Jenderal Sueharto yaitu, KH. Syukron Makmun juga mendirikan Partai Nahdhatul Ummah (PNU).

Pemilu 1982, di tandai oleh putusnya hubungan antara para ulama dengan PPP yang dipimpin oleh John Naro. Menjelang pemilihan umum, Naro mengusulkan agar pembagian kursi di hitung berdasarkan hasil pemilu 1955. Hal ini yang membuat MI, mewakili Parmusi, menjadi pewaris sah Masyumi, dan secara tidak langsung Muhammadiyah, dua organisasi Islam pembaru, meskipun keduanya telah menjauhkan diri dari Parmusi sejak tahun1968.

Nahdhatul Ulama minta agar pembagian kursi didasarkan pada hasil Pemilihan Umum tahun 1971, saat Parmusi tampak sangat lemah dibanding Masyumi. Pertikaian menjadi lebih seru ketika, tanggal 27 Oktober 1981, Naro menyerahkan daftar caleg PPP pada pemerintah: 29 caleg NU di tempatkan pada urutan terbawah sehingga kemungkinan untuk terpilih bisa tidak ada. Para anggota DPR yang disingkirkan itu hampir semuanyaberada dalam barisan oposisi terhadap pemerintah yang tidak menyembnyikan campur tangan-nya dalam penyusunan daftar caleg ini.

Menteri dalam Negeri, Jenderal Amir Machmud menjelaskan bahwa NU telah “menyakiti pemerintah”. Bagi Naro, pembersihan partai ini merupakan usaha yang wajar untuk meletakkan dasar bagi sebuah partai modern yang mempunyai kader-kader bebas dari unsur-unsur partai Islam, baik dari NU, MI, Perti, maupun PSII. Menurut Naro, dalam suatu wawancara: “Bila orang mau masuk partai, dia harus masuk NU dulu, atau Perti dulu, baru ke PPP. Undang-undang partai menyatakan tidak bisa begitu lagi. Saya ingin aktivis masuk langsung, ingin mereka menjadi ‘intellectuals’”. (hal. 201-202)

Buku NU vis-à-vis Negara ini menerangkan berbagai laporan yang kuat dan terbukti, tentang relasi NU terhadap Negara. Perpolitikan yang terjadi, dan bagaimana pertikaian antara golongan NU sendiri pada saat Orde Baru. Buku ini akan memberikan pemahaman kepada kita tentang pentingnya sejarah, agar kita tidak hanya menjadi penikmatnya saja, setidaknya ikut merasakan pahitnya mempertahankan persatuan Negara. Selain bahasanya yang sistematis, buku ini akan mempermudah kita untuk berlama-lama ketika membaca.

Judul               : NU Vis-a-Vis Negara

Penulis             : Andree Feillard

Penerbit           : Basabasi

Cetakan           : Pertama, Agustus 2017

Tebal               : 467 halaman

ISBN               : 9786026651174

Peresensi: Faiqur Rahman, tinggal di Garawiksa Institute Yogyakarta.

Artikel sumber: https://harakatuna.com/siasat-nu-dalam-menjaga-negara.html

Tashwirul Afkar, Kelompok Diskusi Pemuda NU
Sepenggal Cerita Dibalik Nama GP Ansor

Cabang

Ancab

Kabar NU

Mungkin Kamu Suka