Pati,
Di era digital seperti saat ini arus informasi dinilai menjadi begitu mudah didapatkan. Hanya saja ironisnya tidak semua informasi tersebut bisa dipercaya kebenarannya. Bahkan berita sesungguhnya dan berita hoax atau bohong itu semakin sulit untuk dibedakan.
Anis Sholeh Baasyin, saat membuka Suluk Maleman pada Sabtu (24/12) kemarin bahkan menyebut perilaku penyebar hoax itu adalah sesuatu yang keji. Dirinya menilai hoax adalah bagian dari fitnah.
Berita bohong itu berdampak begitu besar. Mampu memalsukan realitas dan memalsukan kesadaran. Salah satu yang mengacaukan bangsa ini dianggapnya berasal dari berita hoax tersebut.
“Di situlah kita harus mencari titik tengah. Harus ada kesadaran dan keadilan dalam melihat sesuatu. Jangan sampai dengan salah melihat kita justru berbuat ketidak-adilan,” ujarnya pada acara yang digelar di Rumah Adab Indonesia, Kabupaten Pati, Jawa Tengah, itu.
Dirinya juga mengingatkan, untuk dapat bersikap adil pertama-tama orang harus berhati-hati dalam membuat penilaian. Termasuk adil dalam mengumpulkan segala perspektif. Dan jika dirasa tidak bisa adil maka sebaiknya menutup mulut atau tidak menyebarkan informasi yang belum jelas kebenarannya.
“Sebenarnya saat ini pun tidak ada masalah yang serius terkait toleransi antaragama. Yang ada hanya orang yang sengaja membesar-besarkan permasalahan di media sosial,” terangnya.
Saling Memahami
Bagi Anis, salah satu kunci solusi dalam menghadapi kondisi seperti saat ini adalah dengan menumbuh-kembangkan sikap saling memahami, sikap ta’aruf yang tidak sekedar saling mengenal di lapis permukaan, tapi harus menukik ke kedalaman. Jika itu bisa dilakukan, bukan tidak mungkin Indonesia bisa menjadi mercusuar kemajuan dunia.
“Kalau orang Islam dengan orang Islam saja tidak bisa saling memahami, lantas bagaimana dengan golongan atau penganut agama lain?” demikian ujarnya.
Dirinya juga menegaskan, jika seseorang ingin menilai orang atau sebuah gejala atau suatu peristiwa, seharusnya orang tersebut harus sudah bisa merdeka dari daya tarik kepentingan-kepentingan dirinya sendiri, baik yang disadari atau tidak.
Menurut Anis, hanya dengan cara itu, baik sebagai individu maupun sebagai ummat, kaum muslimin mampu menjadi wasit yang adil bagi seluruh manusia.
“Rasulullah adalah teladannya. Bayangkan saja jika Rasul punya kebencian, pasti hanya memiliki sedikit sekali pengikut. Karena hampir semua sahabat Nabi, awalnya adalah sekaligus orang atau pihak yang pernah memusuhi bahkan berencana membunuhnya,” tambahnya.
Gus Nuril Arifin yang turut hadir dalam ngaji ngAllah bertajuk “Tengah Tegak Lurus Langit” itu juga mengingatkan agar jangan mudah berbicara sesuatu jika ternyata masih ada kepentingan diri. Dirinya mengingatkan agar jangan sampai bergerak lantaran dituntun oleh nafsu, karena hal tersebut bukannya akan menurai masalah tapi justru akan merumitkannya.
“Sebagai orang yang lahir di Indonesia, kita juga harus bersikap tanpa dipengaruhi orang lain. Harus adil. Saya orang Islam, saya orang Jawa dan saya juga orang Indonesia. Kalau yang Hindu seperti India, yang Budha seperti Cina, yang Kristen seperti barat, dan yang Islam seperti Arab; lalu yang seperti Indonesia yang mana? Yang seperti Jawa yang mana?,” tambahnya.
Hal itulah yang dikatakannya menjadikan masalah di bangsa ini. Menurutnya saat ini orang beragama hanya dilihat dari pakaiannya saja. Orang mengganggap atribut begitu mewakili keimanan seseorang.
“Coba kalau diingat sejak kapan kupluk atau peci itu beragama? Seharusnya kita bangga menjadi Indonesia. Tidak kebarat-baratan dan tidak ke arab-araban,” ujarnya.
Padahal kalau disadari banyak pula orang Indonesia yang menjadi tokoh agama di Mekkah dan Madinah. Orang-orang barat juga begitu serius belajar kebudayaan di Jawa. Hal itulah yang membuatnya menyayangkan orang Jawa yang justru kehilangan kejawaannya, orang Indonesia kehilangan keindonesiaannya.
“Saat ini banyak yang terjebak dalam agama formal, sehingga yang dibicarakan hanya sebatas fiqih saja,” tambahnya.
KH Abdullah Umar Fayumi atau yang biasa di sapa Gus Umar menambahkan dalam Jawa sebenarnya terdapat ajaran luhur. Orang biasa menyebutkan otak atik gatuk. Meski seperti bermain-main, kalau dilihat dengan lebih dalam hal tersebut sebenarnya bisa menjadi panduan yang baik.
“Dalam ajaran itu kita diajarkan untuk menggunakan otak dan ati (hati) hingga akhirnya gathuk (sesuai),” demikian ujarnya
Dirinya juga menyebutkan bahwa dalam diri manusia ada pancaran cahaya-cahaya Allah. Sehingga dengan mengenali diri maka bisa menjadi langkah untuk mengenali Tuhannya.
“Hidup yang baik adalah yang mengalir bagaikan gelombang. Bisa mengalir masuk kemana-mana,” tuturnya.
Selain Gus Nuril dan Gus Umar, dalam pagelaran Suluk Maleman yang jatuh tepat di perjalanannya yang ke lima tahun itu juga turut menghadirkan Kiai Budi Harjono dan juga Dalang Sigit Ariyanto dari Rembang.
Begitu hangatnya diskusi itu membuat acara itu baru dirampungkan pada Ahad (25/12) sekitar pukul 02.30 kemarin. Pagelaran musik dari Sampak GusUran membuat dialog itu kian mencairkan situasi dialog yang dihadiri ratusan orang itu. Bahkan meski sempat diguyur hujan namun tidak sampai menyurutkan minat peserta. (Red: Mahbib)
Penyebaran Hoax adalah Sebuah Kekejian
Pati, NU Online
Di era digital seperti saat ini arus informasi dinilai menjadi begitu mudah didapatkan. Hanya saja ironisnya tidak semua informasi tersebut bisa dipercaya kebenarannya. Bahkan berita sesungguhnya dan berita hoax atau bohong itu semakin sulit untuk dibedakan.
Anis Sholeh Baasyin, saat membuka Suluk Maleman pada Sabtu (24/12) kemarin bahkan menyebut perilaku penyebar hoax itu adalah sesuatu yang keji. Dirinya menilai hoax adalah bagian dari fitnah.
Berita bohong itu berdampak begitu besar. Mampu memalsukan realitas dan memalsukan kesadaran. Salah satu yang mengacaukan bangsa ini dianggapnya berasal dari berita hoax tersebut.
“Di situlah kita harus mencari titik tengah. Harus ada kesadaran dan keadilan dalam melihat sesuatu. Jangan sampai dengan salah melihat kita justru berbuat ketidak-adilan,” ujarnya pada acara yang digelar di Rumah Adab Indonesia, Kabupaten Pati, Jawa Tengah, itu.
Dirinya juga mengingatkan, untuk dapat bersikap adil pertama-tama orang harus berhati-hati dalam membuat penilaian. Termasuk adil dalam mengumpulkan segala perspektif. Dan jika dirasa tidak bisa adil maka sebaiknya menutup mulut atau tidak menyebarkan informasi yang belum jelas kebenarannya.
“Sebenarnya saat ini pun tidak ada masalah yang serius terkait toleransi antaragama. Yang ada hanya orang yang sengaja membesar-besarkan permasalahan di media sosial,” terangnya.
Saling Memahami
Bagi Anis, salah satu kunci solusi dalam menghadapi kondisi seperti saat ini adalah dengan menumbuh-kembangkan sikap saling memahami, sikap ta’aruf yang tidak sekedar saling mengenal di lapis permukaan, tapi harus menukik ke kedalaman. Jika itu bisa dilakukan, bukan tidak mungkin Indonesia bisa menjadi mercusuar kemajuan dunia.
“Kalau orang Islam dengan orang Islam saja tidak bisa saling memahami, lantas bagaimana dengan golongan atau penganut agama lain?” demikian ujarnya.
Dirinya juga menegaskan, jika seseorang ingin menilai orang atau sebuah gejala atau suatu peristiwa, seharusnya orang tersebut harus sudah bisa merdeka dari daya tarik kepentingan-kepentingan dirinya sendiri, baik yang disadari atau tidak.
Menurut Anis, hanya dengan cara itu, baik sebagai individu maupun sebagai ummat, kaum muslimin mampu menjadi wasit yang adil bagi seluruh manusia.
“Rasulullah adalah teladannya. Bayangkan saja jika Rasul punya kebencian, pasti hanya memiliki sedikit sekali pengikut. Karena hampir semua sahabat Nabi, awalnya adalah sekaligus orang atau pihak yang pernah memusuhi bahkan berencana membunuhnya,” tambahnya.
Gus Nuril Arifin yang turut hadir dalam ngaji ngAllah bertajuk “Tengah Tegak Lurus Langit” itu juga mengingatkan agar jangan mudah berbicara sesuatu jika ternyata masih ada kepentingan diri. Dirinya mengingatkan agar jangan sampai bergerak lantaran dituntun oleh nafsu, karena hal tersebut bukannya akan menurai masalah tapi justru akan merumitkannya.
“Sebagai orang yang lahir di Indonesia, kita juga harus bersikap tanpa dipengaruhi orang lain. Harus adil. Saya orang Islam, saya orang Jawa dan saya juga orang Indonesia. Kalau yang Hindu seperti India, yang Budha seperti Cina, yang Kristen seperti barat, dan yang Islam seperti Arab; lalu yang seperti Indonesia yang mana? Yang seperti Jawa yang mana?,” tambahnya.
Hal itulah yang dikatakannya menjadikan masalah di bangsa ini. Menurutnya saat ini orang beragama hanya dilihat dari pakaiannya saja. Orang mengganggap atribut begitu mewakili keimanan seseorang.
“Coba kalau diingat sejak kapan kupluk atau peci itu beragama? Seharusnya kita bangga menjadi Indonesia. Tidak kebarat-baratan dan tidak ke arab-araban,” ujarnya.
Padahal kalau disadari banyak pula orang Indonesia yang menjadi tokoh agama di Mekkah dan Madinah. Orang-orang barat juga begitu serius belajar kebudayaan di Jawa. Hal itulah yang membuatnya menyayangkan orang Jawa yang justru kehilangan kejawaannya, orang Indonesia kehilangan keindonesiaannya.
“Saat ini banyak yang terjebak dalam agama formal, sehingga yang dibicarakan hanya sebatas fiqih saja,” tambahnya.
KH Abdullah Umar Fayumi atau yang biasa di sapa Gus Umar menambahkan dalam Jawa sebenarnya terdapat ajaran luhur. Orang biasa menyebutkan otak atik gatuk. Meski seperti bermain-main, kalau dilihat dengan lebih dalam hal tersebut sebenarnya bisa menjadi panduan yang baik.
“Dalam ajaran itu kita diajarkan untuk menggunakan otak dan ati (hati) hingga akhirnya gathuk (sesuai),” demikian ujarnya
Dirinya juga menyebutkan bahwa dalam diri manusia ada pancaran cahaya-cahaya Allah. Sehingga dengan mengenali diri maka bisa menjadi langkah untuk mengenali Tuhannya.
“Hidup yang baik adalah yang mengalir bagaikan gelombang. Bisa mengalir masuk kemana-mana,” tuturnya.
Selain Gus Nuril dan Gus Umar, dalam pagelaran Suluk Maleman yang jatuh tepat di perjalanannya yang ke lima tahun itu juga turut menghadirkan Kiai Budi Harjono dan juga Dalang Sigit Ariyanto dari Rembang.
Begitu hangatnya diskusi itu membuat acara itu baru dirampungkan pada Ahad (25/12) sekitar pukul 02.30 kemarin. Pagelaran musik dari Sampak GusUran membuat dialog itu kian mencairkan situasi dialog yang dihadiri ratusan orang itu. Bahkan meski sempat diguyur hujan namun tidak sampai menyurutkan minat peserta. (NUOnline, Mahbib)