Kang Parmin (bukan nama sebenarnya) baru saja bertobat. Menurut pengakuannya sendiri, ia sudah terbiasa berzina sejak umur 15 tahun. Di usia 50-an, ia menyesali perjalanan hidupnya. Ia mencari pengampunan. Untuk itu ia mendaftar haji dan menyerahkan dirinya ke bawah bimbingan KBIH Al Ibriz dari pesantren kami.
Kepada Kyai Chamil, pembimbing Al Ibriz yang bertugas tahun itu, ia menanyakan tempat yang paling cocok untuk memohon ampun di Tanah Suci.
“Arofah,” jawab Kyai Chamil, “waktu wuquf nanti.”
“Kalau gitu doa saya nanti ngikutin panjenengan saja ya, ‘Yi.”
“Nggak bisa!” Kyai Chamil mengarahkan, “dosanya orang lain-lain. Aku juga butuh minta ampun dosa-dosaku sendiri. Jadi kamu nanti harus berdoa sendiri. Akui segala dosamu. Serahkan diri kepada Allah. Minta belas-kasihan Allah ….”
Apa mau dikata, sudah terlanjur tertaut hatinya kepada Kyai Chamil, Kang Parmin tak pernah mau jauh-jauh dari Kyai panutannya itu. Terus saja menguntit, termasuk di Arofah. Di mana pun Kyai Chamil duduk, Kang Parmin jongkok di belakangnya seperti gandengan truk.
Hingga tiba waktunya wuquf dan Kang Parmin melangsungkan munajat taubatnya. Entah terbawa emosi atau apa, Kang Parmin tak tahan berdoa dengan suara pelan. Ratapannya kian lama berubah jadi raungan diseling tangis terguguk-guguk,