Nahdlatul Ulama telah memasuki umur ke-91 pada 31 Januari 2017. Sebuah usia yang cukup sepuh dan tentu menyimpan banyak pengalaman dalam bentang perjuangan bangsa Indonesia selama ini. Sebagai ormas terbesar NU terbukti sudah memainkan peran-peran penting dalam usaha mewujudkan kedaulatan dan keutuhan negeri ini.
Jauh sebelum Indonesia merdeka, tepatnya pada tahun 1916, KH Abdul Wahab Chasbullah bersama kiai-kiai lain mempelopori berdirinya Nahdlatul Wathan (kebangkitan tanah air). Kala itu, salah satu pendiri NU yang dua tahun pulang dari Makkah ini tak tega menyaksikan bangsanya dijajah.
Pergerakan tersebut lalu ia topang dengan hadirnya organisasi baru bernama Nahdlatut Tujjar (kebangkitan para saudagar) pada tahun 1918, yang menjadi basis gerakan perekonomian rakyat. Kiai Wahab menjadi sekretaris sekaligus bendaharanya. KH Hasyim Asy’ari memimpin gerakan ini dengan salah satu anggotanya KH Bisri Syansuri. Menyusul kemudian terbentuk Taswirul Afkar (konseptualisasi pemikiran), sebuah forum kajian keagamaan dan kebangsaan yang menyoroti isu-isu krusial dalam konteks itu.
Melalui organisasi-organisasi tersebut para ulama Nusantara mengupayakan berbagai pemecahan masalah bangsanya yang tengah dicengkeram kolonialisme. Dalam suasana penjajahan yang menyengsarakan, langkah-langkah ini tergolong berani dan visioner. Para kiai bergerak dengan risiko akan berhadapan dengan para penjajah.
Yang kerap terlupakan adalah para kiai itu berjuang dalam usia yang relatif sangat muda. Kiai Wahab yang lahir pada 31 Maret 1888 membentuk Nahdlatul Wathan saat masih berumur 26 tahun. Ketika itu Kiai Bisri menginjak usia 27 tahun, sedangkan Kiai Hasyim 41 tahun. Nahdlatul Wathan pun menjadi wahana penggembelengan kesadaraan cinta tanah air yang digerakkan para pemuda dan diperuntukkan bagi para pemuda pula.
Fakta tersebut sekadar contoh betapa atmosfir perjuangan bangsa Indonesia sangat diwarnai oleh jiwa-jiwa muda. Tampilnya para kiai muda pendiri Nahdlatul Ulama itu membantah bahwa NU selalu identik dengan kaum tua, sebagaimana persepsi masyarakat yang jamak kita temui. Kita mendapati mereka sebagai kiai sepuh yang mengendalikan NU ketika organisasi keagamaan terbesar ini sudah mapan belakangan.
Spirit Kaum Muda
Kaum muda sering dipandang spesial setidaknya karena dua hal. Pertama, kekuatan. Pemuda dinilai memiliki energi lebih dibanding kaum tua yang secara alami pasti mengalami penurunan kondisi fisik. Pemuda kerap diasosiasikan dengan kelincahan, kesegaran, dan semangat yang menyalah-nyala.
Kedua, progresivitas. Jiwa perubahan umumnya mengalir dalam darah muda. Karenanya tak heran jika mereka kerap diandaikan mampu menjadi agen sosial yang bisa diandalkan untuk melakukan transformasi ke arah yang lebih baik.
Keistimewaan para pendahulu kita adalah mampu mengaktualisasikan potensi kepemudaan mereka untuk kepentingan publik. Mereka bukan orang-orang picik. Kemampuan untuk membaca persoalan dan momobilisasi masa tidak mereka gunakan untuk kepentingan diri sendiri maupun golongan, melainkan bangsa dan negara secara umum.
Kiprah kiai muda Abdul Wahid Hasyim juga bisa menjadi contoh. Beliau tak hanya menyumbangkan pikiran-pikiran penting saat mewakili umat Islam pada sidang BPUPKI dan PPKI, tapi juga sanggup menahan egoismenya dalam forum perumusan dasar negara itu. Di tengah derasnya aspirasi untuk menegakkan negara teokrasi, Kiai Wahid secara ikhlas menerima Pancasila sebagai ideologi final Republik Indonesia.
Andai saja Kiai Wahid ketika itu ngotot menuruti kemauan mendirikan negara berideologi Islam, mungkin hingga kini bangsa kita yang bineka ini masih terpecah-pecah. Kiai Wahid adalah tokoh kharismatik dan sangat representatif bagi umat Islam. Sejak usia 24 tahun ia aktif di MIAI (Majelis Islam A’la Indonesia), sebuah badan federasi partai dan ormas Islam pada zaman Belanda. Dan mengetuai organisasi ini ketika berubah nama menjadi Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) pada masa pendudukan Jepang.
Pada titik ini, terang sekali bahwa darah muda para kiai NU memberi kontribusi dominan bagi kelahiran dan pertumbuhan negara ini. Kita bisa menyebutnya semangat nahdlatus subban (kebangkitan kaum muda) selain juga nahdlatul ‘ulama (kebangkitan ulama). Teladan positif inilah yang seyogianya dihayati para generasi muda sekarang. Bentuk perjuangan era kini bisa sangat lain, tapi spiritnya tentu tetap sama: membangun kemaslahatan bersama.
Penulis adalah Menteri Pemuda dan Olahraga Republik Indonesia