Kelahiran Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor) diwarnai oleh semangat perjuangan, nasionalisme, pembebasan, dan epos kepahlawanan. GP Ansor terlahir dalam suasana keterpaduan antara kepeloporan pemuda pra dan pasca Sumpah Pemuda, semangat kebangsaan, kerakyatan, dan sekaligus spirit keagamaan.
Karenanya, kisah Nahdlatul Wathan, Taswirul Afkar, Syubbanul Wathan, Persatuan Pemuda NU, ANO, Laskar Hizbullah, Barisan Kepanduan Ansor, dan Banser (Barisan Serbaguna) sebagai bentuk lintasan sejarah perjuangan ANSOR yang melegenda di hati masyarakat dan berperan besar dalam derap langkah pergerakan memerdekakan Republik Indonesia. namun sayang dalam tinta buku sejarah nasional Indonesia, peran GP Ansor seakan-akan dikaburkan.
Pada masa pendudukan Jepang, semua organisasi (baik politik, kemasyarakatan dan kepemudaan) diberangus oleh pemerintah kolonial Jepang termasuk Ansor Nahdlatul Oelama (ANO). Karena itu, ANO baru bisa kembali melakukan pergerakan setelah memperoleh seragam baru, Laskar Hisbullah.
Setelah revolusi fisik (1945 – 1949) usai, tokoh ANO Surabaya, Moh. Chusaini Tiway, melempar ide untuk mengadakan reuni pemuda ANO dan mengaktifkan kembali ANO. Kala itu, Chusaini baru saja kembali dari medan tempur menghadapi agresi II militer Belanda di kawasan Jombang, Mojokerto dan Tuban.
Ide sang pencipta lambang GP Ansor ini mendapat sambutan positif dari KH. Wachid Hasyim, Menteri Agama RIS kala itu, maka pada tanggal 14 Desember 1949 reuni tersebut berlangsung semarak di kantor PB ANO Jl. Bubutan VI/2 Surabaya.
Pertemuan bersejarah itu dihadiri langsung KH. Wachid Hasyim dan memberikan pidato pengarahan terkait pentingnya membangun kembali organisasi Pemuda Ansor karena dua hal: 1) Untuk membentengi umat Islam Indonesia; 2) Untuk mempersiapkan diri sebagai kader penerus NU.
Dari pengarahan itulah lahir kesepakatan membangun kembali organisasi ANO dengan nama baru Gerakan Pemuda Ansor, disingkat Pemuda Ansor (kini lebih populer disingkat GP Ansor).
Pasca pertemuan tersebut, beberapa tokoh menghubungi aktifis Ansor di berbagai daerah agar segera membangkitkan kembali organisasinya, mulai dari tingkat ranting, Anak Cabang, Cabang dan Wilayah atau Daerah. Dalam hal ini, PBNU juga tidak tinggal diam, kendati secara organisatoris, GP Ansor bukan lagi merupakan bagian (departemen) pemuda NU, melainkan sudah menjadi badan otonom yang dengan sendirinya, memiliki aturan rumah tangga sendiri.
Namun demikian, induk organisasi ini tak henti-hentinya memberikan bimbingan dan panutan. Guna mempercepat proses konsolidasi organisasi pada tahap awal itu, Ketua PBNU (KH.M.Dachlan) membentuk sebuah Tim beranggotakan tiga orang: Chamid Widjaja, Chusaini Tiway, dan A.M.Tachjat.
Tim ini diberi tugas untuk menyusun pengurus PP GP Ansor secepat mungkin. Setelah melalui berbagai diskusi, akhirnya Tim berhasil memilih Chamid Widjaja sebagai ketua umum PP GP Ansor periode pemula itu.
Dengan terpilihnya Chamid Widjaja, berarti masa kebangunan kembali GP Ansor telah dimulai. Langkah berikutnya, menurut catatan Moh. Saleh, pada awal tahun 1950 hampir seluruh jajaran Ansor, mulai dari tingkat Ranting hingga wilayah sudah terbentuk. Bahkan pada tahun yang sama, Cabang Istimewa Singapura juga berhasil didirikan. (M. Sultan Indonesia)
Sumber: (1) Gerak Langkah Pemuda Ansor, Choirul Anam, 1996 (2) Nupringsewu.or.id