Tanggal 2 januari bertepatan dengan wafatnya salah seorang sineas Nahdlatul Ulama yang disebut membuat Film Indonesia Pertama, Usmar Ismail. Film yang disutradarainya, Darah dan Doa, disebut sebagai film Indonesia pertama karena digarap sepenuhnya oleh orang Indonesia. Film itu diproduksi Perusahan Film Nasional Indonesia (Perfini), perusahaan yang didirikannya. Ia juga merupakan ketua Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia (Lesbumi), sebuah lembaga yang didirikan Nahdlatul Ulama di Bandung pada tanggal 28 Maret 1962 .
Seperti dikutip NU Online, Choirotun Chisaan dalam bukunya, “Lesbumi; Strategi Politik Kebudayaan” mengatakan, pandangan kebudayaan Lesbumi adalah humanisme relijius, yaitu berlandaskan kepada ketauhidan dan kemanusiaan. Lebih tegasnya adalah, hablum minallah wa hablum minan nas, yaitu mencintai Allah dan mencintai manusia. Menurut Chisaan, pandangan Lesbumi semacam itu, merupakan gejala baru di Indonesia di antara pandangan-pandangan kesenian lain yang muncul di tahun 50 hingga 60-an. Pandangan itu sesuai dengan pandangan tokoh utamanya, Usmar Ismail, yang religius humanis. Hal itu tampak dalam tulisan-tulisannya mengenai konsep kesenian dan kebudayaan, terutama dalam tulisan Usmar Ismail “Seniman Indonesia dan Karyanya”. Tulisan itu, menurut Ensiklopedi NU, dipandang oleh teman-temannya sebagai manifesto atau surat kepercayaan kesenimanan Usmar.
Film yang rilis pada 1950 itu sebenarnya bukan film pertama Usmar Ismail. Sebelumnya, ia mengarahkan film Harta Karun dan Tjitra. Selain film-film ini, ia juga dikenal lewat karya-karyanya seperti Lewat Djam Malam, Enam Djam di Djogdja, Tiga Dara, dan lainnya. Tiap akhir Maret, tepatnya tanggal 30 Maret lantas diperingati sebagai Hari Film Nasional. Penetapannya diambil dari hari pertama pengambilan gambar film Darah & Doa atau Long March of Siliwangi. Film itu dimulai dibuat pada 30 Maret 1950.
Dalam tulisan lain, Usmar menegasakan bahwa tugas seniman dan budayawan adalah untuk mengabdi kepada Allah. Karenanya para seniman dan para kiai harus bergandengan tangan untuk mengembangkan syiar Islam. Pandangannya itu semakin kentara ketika berhadapan dengan Lembaga Kesenian Rakyat (Lekra). Sebagai Ketua Umum Lesbumi, ia menempati ujung tombak front A dalam Nasakom. A mewakil kalangan agamis dalam unsur-unsur Nasakom itu yang terdiri dari Nas (nasionalis) yang diwakili LKN, A (agamis) diwakili Lesbumi, dan kom (komunis) diwakili Lekra. Bagi Usmar, masuknya Lesbumi ke dalam Nasakom itu menjadi penting karena sebagai saluran para seniman Muslim. Sebab, saat itu, tak ada partai Islam yang kuat selain NU, setelah Masyumi dibubarkan Presiden Soekarno.
Perjalanan panjangnya sebagai seniman sekaligus tokoh Nahdliyyin menyimpan banyak cerita. Dikutip dari FilmIndonesia.or.id, semasa Perang Kemerdekaan, Usmar Ismail aktif sebagai jurnalis di sejumlah media. Hal ini sempat membuatnya mendapat pengalaman tak enak. Pada 1948, ia pernah ditawan Belanda atas tuduhan melakukan subversi. Kala itu, ia datang ke Jakarta sebagai wartawan politik Kantor Berita Antara. Usmar Ismail juga mengantongi berbagai penghargaan. Ia mendapatkan perhatian dari Presiden Soekarno. Pada 1962, ia menerima penghargaan di bidang kebudayaan, Piagam Wijayakusuma. Bahkan Usmar Ismail pernah diabadikan dalam Doodle dihalaman utama Google saat Hari Film Nasional. Nama Usmar Ismail juga diabadikan sebagai tajuk penghargaan perfilman dari jurnalis film, yang malam puncaknya digelar saat Hari Film, pada 30 Maret. Selain itu namanya juga diabadikan sebagai monumen dalam sejumlah hal mulai dari ruas jalan hingga Gedung Perfilman yang berada di Rasuna Said, Jakarta Selatan.
Usmar Ismail lahir di Bukittinggi, 20 Maret 1921 dan meninggal di Jakarta, 2 Januari 1971 pada umur yang ke 49 tahun. Ia menjadi pengurus Besar Nahdlatul Ulama 1964 – 1069 dan pernah menjadi Anggota DPR – Gotong Royong 1966 – 1969.